Author: Elinus Waruwu
•Kamis, Februari 25, 2010
P.Raymod Laia OFMCap:
“Umat hanyalah abu, pengembara bagai gelandangan, dan orang asing yang menumpang sementara di dunia….”
Pernyataan itu diutarakan oleh P.Raymond Laia OFMCap (44) ketika berkunjung dan memimpin Misa Perayaan Minggu Prapaskah pertama (21/2) di stasi St Petrus Mela. Menurutnya, bila umat tidak menyadari diri sebagai orang rendahan maka sulit mengosongkan diri untuk sadar. Teks-teks bacaan pilihan gereja masa prapaskah I adalah teks indah yang perlu dicermati oleh umat. Dia menjelaskan beberapa kata kunci yang menjadi inti bacaan. Bacaan pertama adalah pengakuan iman umat Israel yang mengakui asal-usul nenek moyang dari abu, bacaan kedua merupakan pengakuan iman sebagai umat Kristen, dan ketiga bacaan Injil yang bercerita bagaimana pencobaan iblis yang dialami Yesus ketika berpuasa.


Penerimaan Abu

Pada awal perayaan Misa itu, setelah pembukaan atau sebelum acara tobat “Tuhan Kasihanilah Kami…” tampak didahului dengan pemberian abu kepada sekitar 200-san umat. Khususnya umat yang belum sempat menerima abu pada hari Rabu Abu malam (17/2) lalu. Pastor Raymond ketika menyampaikan kata pengantar kepada umat mengatakan bahwa abu menjadi tanda pengakuan iman. Umat berasal dari abu maka kembali menjadi abu. “Menerima abu berarti mengakui diri berasal dari abu, dan kembali jadi abu. Lihatlah perjalanan hidup, kita hanyalah pengembara seperti orang gelandangan, dan sadarilah diri sebagai orang asing yang hanya menumpang sementara di dunia ini. Pada akhirnya kita mati, dikubur, lalu menjadi abu kembali bila telah lama dikubur atapun dikremasi…” jelas P.Raymond mengingatkan peristiwa Rabu Abu yang sangat penting itu.
Memang, lanjut P.Raymond, dari sejarah masa perjanjian lama bangsa Israel sampai pada sebutan umat Kristen hingga zaman kita sekarang sudah nyata kita berasal dari abu. Bahkan kita hanyalah penumpang bagai anak jalanan, gelandangan dan orang asing. Pengakuan spritualitas sebagai umat yang memposisikan diri orang asing itu, menunjukkan tidak ada tempat yang tetap, maka harus berpindah karena keseluruhan hidup kita hanya peziarah di dunia dan bumi bukan rumah abadi. “Pondokmu (tubuh yang fana) akan dibongkar..” kata Pemazmur.
Menyinggung soal budaya Batak di daerah Tapanuli itu, di mana adanya acara “Mangokkal Holi” arti pemindahan atau pengangkatan tulang belulang, itulah satu tanda bukti begitu dihormatinya abu dalam budaya. Tulang nenek moyang itu apalah artinya? Tetapi begitulah, sangat dihargai dan dihormati sebagai tanda hormat, padahal lanjutnya, sesungguhnya tulang itu juga akhirnya jadi abu. Hal yang sama bagi warga Tionghoa yang beragama Budha juga menghormati abu orangtua mereka dengan cara dibakar dan dikremasi. “Semua menunjukkan kesadaran berasal dari abu dan pada akhirnya kembali jua jadi abu!” urai P.Raymond yang menyentuh hati umat secara nyata.


Nilai Kejujuran, Pencobaan, dan Kuasa
Lebih jauh P.Raymod menekankan lewat peristiwa abu ada nilai kehidupan yang bermakna sangat mendalam yakni pengakuan kejujuran diri. Pada zaman sekarang, banyak orang yang berpura-pura baik. Ada banyak yang menutupi diri (bertopeng) dan melupakan kesalahannya tanpa dimaknai pertobatan. Hidup orang seperti itu tidak peduli penghayatan iman, dan sering suka berbohong pada diri sendiri dan orang-orang sekitarnya. Kalau sudah begini maka nilai kejujuran mematikan kebenaran dalam hal bertobat. “Makna pertobatan yakni kembali menyadari diri dari sikap berpura-pura, merenungkan, lalu berubah dengan pengakuan pada kejujuran diri sendiri sesuai yang sebenarnya.” tandas P.Raymond penuh semangat.
Semboyan lain yang senada dengan keterangan P.Rayomod itu bisa juga kita baca seperti tertulis di sebuah lembaga pendidikan dan pelatihan lembaga penjamin mutu pendidikan (LPMP) seperti di Medan misalnya berbunyi “Orang yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya”. Pendapat ini amat dalam artinya bila dihayati dan diamalkan. Mengenal diri berasal dari abu yang diangkat sebagai makhluk mulia oleh Tuhan, maka diminta nilai kejujuran tetap tumbuh dalam hidup dan perlu dibudayakan. Masalahnya banyak orang yang tidak mengenal dirinya siapa, menyebabkan mata bagaikan silau akibat kenikmatan duniawi yang tidak menyadari diri peziarah atau hanya sementara selama berada di bumi ini (tidak abadi).
Menyinggung perihal pencobaan seperti dialami Yesus ketika iblis menggoda, nilai kejujuran jelas terpancar tidak bisa dikalahkan oleh iblis. Iblis datang lalu mengetes Yesus di saat puasa, bayangkan ketika sudah tidak makan dan minum 40 hari, ini mempengaruhi kondisi fisik dan moral, dan kesempatan itulah yang digunakan iblis mencobai Yesus. Iblis tahu bahwa Yesus mempunyai kuasa yakni mampu mengubah batu menjadi roti, kuasa itu jelas ada pada Yesus, maka iblis memanfaatkan kesempatan masa puasa itu agar dapat membatalkan puasa niat baik dan kejujuran yang dilakukan oleh Yesus. Ternyata, kuasa itu tidak mau dipergunakan Yesus untuk membohongi dirinya (inilah nilai kejujuran), tidak mau kepura-puraan menguasai diri-Nya seperti banyak dilakukan orang pada zaman sekarang. “Bagaimana dengan umat kita?”
Diberi Kesempatan
Usai Misa Prapaskah itu, Bapak CK. Manalu (64) mantan Voorhanger di Stasi Mela mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih telah diberi kesempatan menerima abu pada perayaan Misa Prapaskah I. Dia menuturkan tidak sempat ikut acara Rabu Abu, karena alasan dilaksanakan pada malam hari. “Menurut saya sudah bagus ada kebijakan itu dibuat mengingat malam Rabu Abu banyak umat tidak sempat menerimanya. Yah… maklumlah di samping pertimbangan bagi yang sudah tua dan anak-anak kan jelas sulit semua dapat mengikuti malam hari. Sementara siang hari pada sibuk juga melakukan aktifitas. Maka, menurut saya bagus sekali diberi kesempatan hari ini sekalipun sebenarnya sudah lewat acara itu…” tuturnya menyetujui dan mewakili tokoh umat di Stasi itu.
Banyak umat yang sependapat dengan diberi kesempatan menerima abu pada hari Minggu itu, mereka juga merasa ada sesuatu yang kurang bila belum menerima dan ditandai dengan abu. Sesuai dengan petunjuk Pastor Paroki kepada Pengurus sebelumnya, P.Alfons telah meminta agar bila ada Pastor umat yang belum menerima abu diberi kesempatan, dan boleh diwakili Voorhanger untuk memberikan kepada umat. Kebanyakan berpendapat, selaku umat percaya harus merasa rindu menerima abu sebagai bagian dari iman dan penyadaran diri sebagai umat beriman dan ciptaan Tuhan. *** (Selamat Prapaskah!)
Elinus Waruwu.
READ MORE - Umat Hanyalah Abu
Author: Elinus Waruwu
•Kamis, Februari 25, 2010
Perkataan koyakkanlah hatimu sangatlah cocok direnungkan pada perayaan hari Raya Rabu Abu (17/2). Orang biasanya kalau sudah naik darah atau panas terhadap lawan seterunya tanpa sadar emosinya meluap dan langsung mengoyakkan bajunya. Sesudahnya, siap bertempur melawan musuh, siap berkelahi, dan saking emosinya orang itu siap mati seketika. Itulah ilustrasi P.Aloysius Ampu Pr ketika memimpin Misa Rabu Abu di Stasi Santu Petrus Mela baru-baru ini. Singkatnya, keadaan siap tempur dengan koyak baju. Sekarang Tuhan tidak meminta koyak baju, tetapi lebih keras Dia berseru, “Koyakkanlah hatimu… karena dalam hatimu itu berasal segala sumber dosa…”
P.Alfons Ampu Pr menekankan bahwa hati sumber dosa. Bila akar dalam hati tidak dirawat dan dipelihara maka memunculkan berbagai kejahatan dan dipastikan pertobatan tidak akan pernah terjadi. Maka Tuhan menyapa umat-Nya pada masa pertobatan ini dengan ditandai abu. Perayaan Rabu Abu bukan mengotori tetapi tanda sadar sebagai orang berdosa. Maka hati sebagai sumber dosa perlu dimurnikan kembali. Masa pertobatan selama 40 hari kita laksanakan sebagai ret-ret agung dengan berbicara kepada Tuhan secara terus-menerus. “Jadi, sangatlah salah bila kita berbicara tentang diri orang lain, gosip, menjelek-jelekkan sesama, memuji –muji diri, sombong, dan lain sebagainya…” tegas P. Alfons mengawali permenungan.
Ada tiga hal yang perlu dipehatikan pada masa Prapaskah, pertama puasa. Puasa tidak diartikan tak boleh makan tetapi dibatasi hanya kenyang sekali. Jatah yang seharusnya dari pembatasan dari kenyang-kenyang itu disisihkan untuk aksi puasa. Kedua, amal kasih. Artinya selama Prapaskah karya amal dan berbuat baik perlu dilakukan. Dan perlu diingat perbuatan baik yang dilakukan tidak untuk diketahui orang agar memperoleh pujian atau simpatik, namun perbuatan baik itu kita lakukan menjadi berkat bagi orang lain sebagai ganjaran. Ketiga doa, selama Prapaskah kita diminta memberi waktu khusus untuk berdoa tanpa dibatasi tempat dan waktu. Kalau selama ini sibuk sekali, cari waktu khusus dan buat komitmen bersama.
Lebih jauh P.Alfons menjelaskan bahwa dalam masa Prapaskah yang kita masuki itu, kita sebagai umat yang mempunyai kebiasaan dan keinginan kuat harus mengeremnya. Misalnya kebiasaan minum tuak, merokok, makan yang enak-enak dan sebagainya perlu dikurangi. “Bila memungkinkan distopkan sama sekali..” jelas P.Alfons dengan mata agak besar dan sesudahnya senyum seperti memarahi umatnya tapi tetap sayang.
Apa yang dikatakan P.Alfons memang benar. Di daratan daerah Tapanuli selalu tersedia kedai tuak tempat kumpulnya kaum bapak-bapak yang sering nongkrong minum tuak dari siang sampai malam hari. Kebiasaan minum tuak itu sering tidak bisa dihindari. Kadangkala tuak dan rokok serta bumbu makanan tambahan dari minuman berupa daging tidak bisa dihindari karena sudah keenakan. Belum lagi, rokok sampai berbungkus-bungkus menjadi asap tak karuan memenuhi kedai sebagai sahabat minum tuak. Maka sedikit hati-hati kalau menyinggung soal tuak karena bisa saja diartikan menyindir dan kasar, karena diartikan melarang budaya minum tuak yang sudah tradisi di daerah itu.
Tradisi minum anggur di Barat, begitulah tuak di daerah Tapanuli. Maka tidak mengherankan isteri-isteri tak kuasa marah bila suaminya berada di kedai tuak. Herannya kita tidak habis pikir, dari mana hidupnya orang-orang yang selalu nongkrong di kedai tuak itu. Yah…sebagian Nelayan, malam hari cari ikan tetapi ketika bersama kembali ke darat sudah tampak nongkrong di kedai. Lalu, soal ke gereja perlu dikaji kenapa banyak yang tidak mau berdoa ke gereja? Ini salah satu penyakit masyarakat yang sulit diberantas. Dan hal itu sangat terasa ketika ada partangiangan (bhs Batak: Doa Lingkungan), dua sampai tiga orang kaum bapak yang bisa ikut, selainnya didominasi kaum ibu.
Bahkan ketika seorang Sintua yang tidak ingin disebut namanya dipertanyakan keadaan di lingkungan, Sintua yang memimpin partangiangan di daerah itu mengeluh, karena satupun kaum bapak tidak ada kecuali Sintua. Maka saat membuat renungan, Sintua itu hanya tersenyum dan memulai berkhotbah, “Sadari-saudari dan Ibu-ibu terkasih…” Umat di lingkungan itu tersenyum-senyum… Lalu dilanjutkan. “Saya tidak tahu mau menyapa dengan Bapak dan Ibu yah…karena tak satupun Bapak-bapak kita yang hadir di sini. Bagaimana cara menyapa kalian semua?” Maka terhentilah renungan sebentar dan tawa ria membahana menghiasi ruangan partangiangan… Mulailah saling menyalahkan. Beberapa ibu, menyindir suami temannya.. dan keributanpun tak bisa dihindari…
Menurut penuturan Sintua yang menjadi Pengurus di lingkungan itu, peristiwa masa lalu yang telah menjadi suatu kelucuan di daerah Tapanuli. Maka untuk mengatasi hal itu, agar tidak terjadi kelucuan, Sintua Lingkungan mengambil inisiatif dengan cepat-cepat memanggil beberapa kawan agar kaum bapak ikut partangiangan. Bila tidak berhasil, maka berjalanlah sendiri dan siap-siaplah hanya memimpin kaum ibu-ibu saja.
Maka kesimpulan dari permenungan Hati Sumber Dosa adalah benar. Sudah susah sekali memasuki hati umat karena hati sumber dosa tidak dirawat dan dipelihara, apalagi kaum bapak yang tambo-nya sudah bercampur di kedai tuak. Duduk di kedai tuak sudah semacam kebiasaan, bila tidak nongol di kedai tuak ada sindiran bukan golongan kaum bapak. Maka kita harapkan sapaan penyadaran, lewat masa Prapaskah sekarang memampukan kita sebagai umat bertobat dan dapat merefleksikan apa sasaran dan tujuan yang diharapkan dalam perjalanan sebagai umat beriman, yaitu bangkit bersama Kristus yang hidup jaya dan mulia. ***
READ MORE - Hati Sumber Dosa
Author: Elinus Waruwu
•Kamis, Februari 25, 2010
P.Blasius Fau OFMCap mengatakan orang katolik tidak boleh mengandalkan uang. Orang yang mengandalkan uang ataupun materi secara umum sudah pasti celaka.
Hal mengandalkan uang sebagai kekuatan karena status sosial menurut P.Blasius Fau sudah mulai meraja di Tanah Air kita dan mungkin saja ada di antara umat (maaf tidak menuduh). Golongan status sosial yang melekat pada diri seseorang itu megandalkan uang sebagai nomor satu. “Segala-galanya diselesaikan dengan uang…” katanya.
Dengan uang maka semuanya urusan beres bahkan dipermudah. Pokoknya ada uang maka orang bisa pintar membohongi hati nurani, pandai menipu orang lain dan licik bersahabat dengan penguasa. Bisa memutarbalikan fakta, dan jarang kelihatan di Gereja karena takut dikhotbahi . Maka, lanjut P.Blasius Fau yang tinggal di Biara Santu Felix Mela 3 kilometer dari Kota Sibolga, terkutuklah mereka yang mengandalkan kekuatan, kekayaan, kepintaran dan kekuasaan yang melupakan Tuhan sebagai sumber kekuatan hidup.
Memang benar, ada tiga tipe manusia. Tipe pertama pintar dan baik hati, tipe kedua pintar dan rendah hati, dan tipe ketiga pintar dan tak peduli orang lain. Nah tipe ketiga inilah yang dikencam oleh Yesus… “Terkutuklah kamu…” kata P.Blasius dengan sangat antusias memberikan renungan di hadapan 300-an umat di Stasi Santu Petrus Mela pada Minggu Biasa ke-6 (14/2).
Lebih jauh, P.Blasius menekankan bahwa faktor celaka itu terjadi tanpa disadari akibat dikuasai oleh duniawi. Bayangkan uang dan harta menjadi segala-galanya, yang akibatnya mematikan iman seseorang akan Tuhan. Dan ini sungguh-sungguh tidak terberkati. Materi-materi duniawi merajai orang untuk berkuasa sehingga melupakan Tuhan dan tidak pernah lagi berdoa, tidak pernah ingat dan ajak keluarga di rumah untuk berdoa kepada Tuhan.
Umat Hanya Pengelola
Sebaliknya, kita sebagai umat dianjurkan agar kaya raya, pintar, baik dan rendah hati. Dengan mampu menguasai kekayaan dan menyadari diri bahwa uang sebagai sarana untuk memperoleh keselamatan. Pemilik satu-satunya adalah Tuhan. Bagaimana uang dan harta kekayaan dapat dipergunakan? Dengan cara sabar, murah hati, mau menolong dengan cara mendengar orang lain yang berkesusahan dan berusaha menolong. “Beri waktu untuk berdoa agar iman tumbuh dalam keluarga. Dengarkan isteri, dengarkan suami, dengarkan anak-anak…dan beri waktu untuk Tuhan dengan rajin berkomunikasi termasuk tidak lalai melakukan kewajiban datang ke gereja setiap hari Minggu…” katanya dengan lemah lembut sambil mengajak umat menjadi pelaku Sabda Tuhan dan bukan penonton.
Menarik apa yang disampaikan dalam permenungan itu, karena orang sering ketergantungan dengan materi kekayaan. Ujung-ujungnya orang memandang diri sebagai pemilik kekayaan yang seharusnya hanyalah pengelola. Kita diajak melihat diri masing-masing apakah selama ini tujuan hidup kita hanya mencari kekayaan dan kelimpahan harta? Tentu hal ini tidak tujuan. Dalam hal ini, kita selaku umat perlu sekali menyadari bahwa kita hanya pengelola selama masih hiidup di dunia ini. Kita hidup untuk diri dan keluarga tetapi sekaligus hidup untuk sesama demi perkembangan bersama. Lewat permenungan itu, kita disadarkan bahwa harta tidak jaminan untuk mendapatkan keselamatan. Iman akan Tuhanlah yang menjamin kita bisa meraih keselamatan. Dan itu hanya bisa terwujud bila kita menjadi pelaku-pelaku Sabda Tuhan yang selalu mengajak kita untuk bertobat dan bertobat. ***
READ MORE - Tidak Boleh Mengandalkan Uang