•Rabu, Oktober 26, 2011
Selama tiga hari Kamis s/d Sabtu 1-3 September 2011 telah berlangsung seminar Lokakarya Budaya Nias tentang jujuran yang disebut böwö. Lokakarya itu dibuka resmi oleh Uskup Keuskupan Sibolga Mgr Dr Ludovicus Simanullang OFMCap dengan ditandai pemukulan gong dan berlangsung di gedung serba guna St Yakobus Laverna Gunungsitoli Nias dan dihadiri tidak kurang 127 orang peserta tenaga pastoral, para Imam, Pendeta, Pengetua Adat dari pengurus lembaga adat lintas komunitas yang lebih dikenal dengan sebutan öri. Hadir juga tokoh adat dan unsur Pemerintah kabupaten/kota lintas agama. Para peserta lokakarya masing-masing memiliki perwakilan yang berasal dari Kota Gunungsitoli, Teluk Dalam - Nias Selatan, Lahewa - Nias Utara, Sirombu Mandrehe - Nias Barat.
Ketua Panitia Pastor Romanus Daeli OFMCap mengatakan dasar pelaksanaan kegiatan itu adalah keputusan Uskup Keuskupan Sibolga nomor 093/KS-SK/2011 tentang Pengangkatan Panitia Lokakarya Budaya Nias. Kegiatan lokakarya itu dilaksanakan dalam rangka mengimplementasikan transformasi Tata Nilai Baru tentang adat khususnya jujuran demi mendukung perkembangan budaya masyarakat Nias sebagai tindak lanjut hasil analis sosial dan Sinode Keuskupan Sibolga 12-16 November 2009 yang lalu.
Adapun tema seminar Lokakarya yakni “Jujuran Perkawinan Mensejahterakan Keluarga” dalam bahasa NiasFamalua Böwö Wangowalu Same’e Fa’ohahau Dödö. Menurutnya, jujuran (böwö) yang umum terlaksana di Nias dinilai masih sungguh membebani, bahkan ansos mengisyaratkan jujuran böwö salah satu penyebab kemiskinan di tengah masyarakat Nias khususnya yang terjadi di desa-desa terpencil. Lanjutnya, tujuan melaksanakan seminar Lokakarya untuk menggagas perubahan sosial di bidang adat dengan mengembangkan kesepakatan baru yang disosialisasikan kepada masyarakat basis lewat katekese dan pertemuan resmi lainnya.
Fidelis Elisati Waruwu M.Sc.Ed salah seorang narasumber yang datang dari Jakarta Barat mengutarakan bahwa setiap masyarakat memiliki sistem adat-istiadat untuk menyambut peristiwa-peristiwa penting dalam siklus kehidupan. Seperti perkawinan misalnya, terkandung di dalamnya ritual penghayatan nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat. Anggota keluarga akan melakukan syukur dan mengundang sanak keluarga – seluruh keluarga besar (banua) – untuk bersyukur atas hadirnya rahmat Tuhan dalam keluarga baru tersebut. Dalam acara itu dilantunkan doa-doa syukur, doa-doa berkat dan sekaligus sebuah perayaan makan bersama guna meneguhkan persaudaraan. Lanjut Fidelis, nilai-nilai luhur seperti penghormatan (nilai fame’e sumange), nilai ketaatan total, sikap tunduk menyerah yang menunjukkan kebesaran kasih dari setiap orang Nias yang menghayati adat-perkawinan. Pesta perkawinan itu seharusnya sebagai ungkapan kegembiraan. Pihak keluarga mempelai wanita melakukan persiapan-persiapan batin dengan memberikan nasehat-nasehat praktis (fotu) berisi prinsip-prinsip nilai bahwa dia harus memberi hormat kepada pihak keluarga calon suaminya. Hal yang sama juga, mempelai pria menunjukkan penghormatannya kepada semua pihak dari keluarga calon istrinya, terutama pihak paman (uwu), calon ayah dan ibu mertuanya, calon saudara iparnya (saudara laki-laki dari calon istrinya). Sebagai bukti sembah sujud dan ketaatan total, maka apa saja yang dikatakan oleh calon mertuanya (ayah, ibu), semua calon iparnya laki-laki dan pihak paman (uwu) mesti dilaksanakan tanpa syarat. Pihak calon mempelai pria harus meminta restu mereka dengan cara sembah sujud, membawa makanan dan sekaligus memberi tanda kasih (böwö) kepada mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan.“Jadi pada prinsip dasarnya, yang diharuskan adalah memberi penghormatan (fame’e sumange) secara total dan bukan mengharuskan membayar jumlah uang (firö), beras (fakhe), babi (bawi) atau jujuran. Maka pada saat yang sama, pihak orang tua (ayah dan ibu calon mertua), pihak saudara (calon ipar) dan pihak paman (uwu) juga membuktikan kebesarah kasih mereka (fa’ebua mböwö-ra) dengan menerima dan memberikan berkat pada calon menantu yang datang menyembah. Seluruh anggota keluarga menerima, dan disambut dengan adat kebesaran!”jelas Fidelis.
Permasalahan Perkawinan Adat Nias
Dalam lokakarya itu, terungkap bahwa pelaksanaan adat-istiadat di Nias yang mula-mulanya berisi nilai-nilai luhur, dalam perjalanan sejarah mengalami perubahan-perubahan. Beberapa hal yang awalnya hanya ritual untuk mendukung nilai, ternyata dimutlakkan dan menjadi keharusan. Misalnya acara sembah sujud pihak calon mempelai pria yang disampaikan dalam bentuk jamuan makan (famondiwo) dan pemberian kasih yang seharusnya diterima (sinema) oleh pihak uwu, sibaya, ama, ina dan talifusö menjadi dimutlakkan takarannya dan dipaksa untuk diberikan oleh mempelai pria. Pemaksaan pemberian jujuran tersebut telah menjadi kebiasaan adat, yang pada akhirnya nilai-nilai luhur adat sendiri tidak lagi diperhatikan, malah dikorbankan. Akibat dari pemaksaan jumlah pemberian tanda kasih (fa’ebua mböwö) menjadi bukan lagi praktek nilai-nilai luhur tapi berubah menjadi jujuran yang mesti dibayar. Bila tidak membayarnya, maka pihak mempelai pria akan dipermalukan dalam pembicaraan adat (dikatakan sebagai orang yang tidak tahu adat = niha silö mangila huku). Akibatnya, banyak mempelai pria melakukan segala cara, termasuk menggadaikan tanah, kebun atau apapun yang bisa digadaikan agar dapat memenuhi tuntutan pihak keluarga mempelai wanita. Bila keadaan sudah terdesak, makapinjaman uang dengan bunga tinggi (kefe so’ono) pun terpaksa pilihan sebagai solusi. Sering juga untuk memperoleh pinjaman dengan bunga lunak, pihak mempelai pria harus menggadaikan apa saja yang bisa digadaikan. Kejadian itu sering berlangsung spontan seperti kebiasaan. Dan tentu saja dampak dari kebiasan itu tidak pernah dipikirkan oleh kedua belah pihak. Setiap orang menganggapnya memang sudah seharusnya demikian.
Kalau kita menyaksikan pengalamn pada kenyataan umum, keluarga-keluarga muda di Nias memulai hidup rumah tangganya dengan utang, dan ada yang sudah melilit dan membelenggu, karena uang berbunga = kefe so’ono, utang beras, utang babi dan utang-utang lainnya. Tentu saja, keadaan seperti itu kurang memotivasi keluarga yang baru terbentuk untuk memikirkan sesuatu yang positif tentang masa depan keluarganya. Karena yang menjadi bahan pemikiran setiap hari adalah bagaimana membayar utang-utang yang tidak pernah berakhir. Keadaan itu tentu saja tidak memotivasi untuk bekerja mencari kehidupan. Karena apapun yang dikerjakan pada akhirnya tidak dinikmati, hanya habis untuk melunasi utang akibat besarnya jujuran perkawinan.
Bila keadaan jujuran perkawinan demikian, tidaklah mengherankan pihak pria – memilih untuk melarikan diri untuk melupakan beban kehidupan – dengan minum alkohol (mamadu tuo), asyik dengan main kartu (dan mungkin juga berjudi) dan menghabiskan waktu di warung kopi sambil main catur atau ngobrol seharian. Semangat hidup mengalami kemunduran di mana setiap orang ada di bawah tekanan dan frustrasi berkepanjangan. Tidak heran kalau individu-individu dalam masyarakat Nias menjadi gampang tersinggung, gampang marah, mengamuk dan melakukan kekerasan. Beban adat yang membelenggu itu semakin terasa lagi ketika ipar laki-laki juga menikah atau membutuhkan bantuan biaya sekolah, bantuan ketika mereka mendirikan rumah, bahkan ketika salah satu diantaranya meninggal dunia (ömö fangasi). Pihak anak perempuan masih memiliki utang yang wajib dibayar. Ketika keluarga muda mulai mendirikan bahtera keluarganya dengan lilitan utang, maka apapun hasil kerja keras mereka selama bertahun-tahun, hanya untuk melunasi utang-utang yang terus bertambah – seperti pinjaman uang dengan bunga tinggi (kefe so’ono) sebelumnya. Tentu saja praktek hidup seperti itu bukanlah tujuan dan nilai adat yang dirancang oleh nenek moyang leluhur orang Nias dulu.
Zaman sudah berubah. Tuntutan hidup modern juga berubah. Dewasa ini, pendidikan demikian penting dan mutlak dibutuhkan oleh setiap generasi muda. Pendidikan membutuhkan biaya besar. Akibat pelaksanaan jujuran adat perkawinan Nias seperti dipaparkan oleh beberapa pembicara atau narasumber, mereka berpendapat bahwa membentuk keluarga baru lewat perkawinan adat Nias berdampak berat pada kehidupan generasi muda. Banyak orang tua tidak dapat membiayai sekolah anak-anaknya, karena pendapatan mereka hanya cukup untuk membayar utang-utang yang terus melilit.
Artinya, pelaksanaan adat-istiadat pembuktian pemberian kasih (fa’ebua mböwö) sudah berubah menjadi pemaksaan pemberian jujuran yaitu materialistis. Hal itu menjadi gambaran umum cara pelaksanaan jujuran (böwö) perkawinan di Nias, nilai kesakralan adat-istiadat itu telah jauh bergeser dari semangat awal pelaksanaannya yang lebih spiritual. Nilai-nilai luhur dalam adat perkawinan yang merupakan pembuktian kebesaran kasih (fa’ebua mböwö) kedua belah pihak (pihak keluarga mempelai wanita dan mempelai pria) sudah direduksi dalam sebuah praktek materialistis, pemaksaan pemberian sinema pihak-pihak keluarga wanita. Tentu saja, orang-orang seperti itu bukan membuktikan diri sebagai orang yang memiliki kasih yang besar (sebua böwö) tapi orang yang miskin kasih dan justru hanya memikirkan kenikmatan sesaat (tolo-tolonia dan fa’ebua zinemania).
Maka muncul pertanyaan, “Apakah jujuran perkawinan (böwö) Masyarakat Nias sudah mensejahterakan atau belum?” Bila prakteknya seperti pemaksaan maka pemutlakkan jujuran itu justru membelenggu keluarga-keluarga Nias dalam lembah kesengsaraan hidup karena utang-utang yang memiskinkan. Praktek pelaksanaan pesta perkawinan ala Nias berpedoman pada rangkaian böwö dan menjadi tradisi hidup masyarakat. Tradisi itu mempengaruhi sikap mental setiap orang yang hidup dalam masyarakat Nias itu. Seluruh aturan-aturan adat menjadi semacam aturan moral yang harus dipatuhi. Bila ada orang yang tidak menaati aturan tersebut dianggap salah atau melanggar aturan adat, didenda (lakhau), dan bisa dikenakan hukuman sosial, dikucilkan, atau dikeluarkan dari komunitas. Jadi, pelaksanaan adat-perkawinan yang memutlakkan jujuran justru mendorong setiap keluarga baru dalam lembah penderitaan yang tidak ada ujung.
Di satu pihak, pelaksanaan adat (fa’ebua mböwö) itu memperlihatkan betapa kebesaran hati orang-orang Nias. Bersedia memberi makan semua orang sekampung; menunjukkan kemurahan hati dengan bersedia mengikuti apa saja yang diminta oleh pihak mertua dari pihak mempelai wanita. Apabila sudah ada relasi kekeluargaanya, maka semua pihak menjadi anggota keluarga besar dan disebut sitenga bö’ö artinya bukan lagi orang lain. Sistem adat itu memperkokoh hubungan persaudaraan di antara seluruh keluarga. Pihak Uwu membuktikan kemurahan hatinya dengan memberi berkat (howu-howu) dan bahkan memberikan ternak (manu, bawi) dan bibit tanaman (tanömö zinanö) sebagai modal bagi anak mereka yang memulai hidup baru dalam keluarga. Pihak keluarga perempuan memberangkatkan anaknya dengan berbagai perlengkapan yang dibutuhkan oleh keluarga muda. Tentu saja bila hal itu dilaksanakan seperti semangat awalnya – maka pesta adat perkawinan di Nias justru membawa kesejahteraan bagi keluarga baru.
Ternyata pelaksanaan adat perkawinan di Nias telah mengalami erosi nilai. Dari semangat menunjukkan kemurahan hati (fa’ebua mböwö) ke arah menentukan besarnya jujuran (fa’ebua zinema). Semangat awalnya adalah bagaimana semua pihak berlomba memberikan yang terbaik kepada orang lain. Setiap orang berusaha membuktikan kemurahan hatinya (fa’ebua mböwö nia). Prakteknya sekarang, nilai-nilai luhur itu direduksi pada nilai material besarnya jujuran adat. Maka solusi terbaik, adalah kembali ke semangat awal “menunjukkan kebesaran kasih (fa’ebua mböwö) dan tidak direduksi pada besaran jujuran yang mesti diterima oleh berbagai pihak (sanema sinema). Kata Fidelis, “Justru ketika anak-anak kita memulai hidup keluarga yang baru, setiap pihak berusaha membuktikan kemurahan hatinya (fa’ebua mböwö nia) dengan membekali keluarga baru semua hal yang baik – demi memampukan anak-anak kita memulai hidup baru mereka dengan layak di tengah dunia yang terus berkembang dan berubah!”
Zaman telah berubah. Setiap orang mesti menyesuaikan diri dengan tuntutan kehidupan modern, khususnya tuntutan dalam bidang pendidikan. Agar generasi baru dapat memainkan perannya dalam masyarakat yang terus berubah ini, anak-anak perlu dibantu dalam pendidikan mereka. “Maka hanya apabila keluarga-keluarga kita di Nias mempunyai kemampuan ekonomi (tidak banyak utang) – dan berdaya, maka pendidikan anak-anak kita di Nias lebih terjamin. Sekarang ini orang yang berpendidikan sangat dibutuhkan untuk dapat ikut serta dalam pembangunan masyarakat kita di Nias. Tanpa pendidikan, generasi Nias hanya berkutat dalam pergulatan dengan berbagai lilitan kemiskinan kehidupan, dan dengan demikian kita meneruskan generasi yang terus berkutat dalam kemiskinan.” Ungkap Fidelis yang banyak menjelaskan solusi untuk membaharui nilai-nilai budaya Nias yang lebih baik.
Pastoral Formatif dan Transormatif
Fr. Postinus Gulö OSC mahasiswa S-2 dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung yang sedang menulis tesis seputar perkawinan adat Nias Barat daerah Öri Moro’ö, turut serta menjadi narasumber pada lokakarya itu. Beliaumengharapkan dalam menyikapi perkawinan adat Nias hendaknya diterapkan kerasulan model pastoral formatif dan transformatif. Menurutnya, pastoral formatif yakni berusaha membentuk, mendidik, mengarahkan dan menyadarkan masyarakat pada nilai-nilai budayanya sendiri sekaligus pada ajaran Gereja. Dikatakannya, perlu tenaga pastoral yang mengerti sungguh budaya daerah Nias. Dan tenaga pastoral itu perlu menghindari tindakan yang hanya mengkritik tanpa berusaha menyelami makna terdalam dari budaya Nias. Melihat kenyataan yang dalam perkembangan zaman perkawinan adat Nias sudah mengalami kepudaran di dalam praktek keseharian masyarakat Nias. Maka perlu terobosan-terobosan baru demi menciptakan perubahan hidup masyarakat Nias menjadi lebih sejahtera, selektif terhadap kecanggihan teknologi dan budaya modern semacam keyboard.
Menurutnya, penerapan böwö yang cenderung material perlu diubah dan dikembalikan ke makna asali yakni böwömerupakan nilai etis, sikap saling menghormati dengan kata dan perbuatan. Misi Gereja di Pulau Nias kurang berhasil jika tenaga pastoral dan misionaris tidak memahami adat setempat. Tenaga pastoral dan para misionaris tidak akan berhasil melakukan perubahan jika tidak mampu memahami budaya Nias. “Oleh karena itu, yang sangat dituntut dari para tenaga pastoral yang berkarya di Nias adalah kesediaan dan pengorbanan yang tulus serta kreatif. Tenaga Pastoral harus mampu menerima keadaan dan juga berusaha menorehkan yang berguna bagi kelangsungan hidup umat. Pastoral yang penuh belas-kasih (karikatif) memang dibutuhkan, tetapi yang lebih penting adalah pastoral formatif dan transformatif !” harap Fr.Postinus Gulo.
Kesepakatan Baru
Pada hari terakhir lokakarya adat Nias itu para peserta berhasil menetapkan kesepakatan baru setelah bersama-sama mendalami makna nilai-nilai luhur böwö dalam adat istiadat suku Nias. Beberapa kesepakatan baru itu dapat dirangkum dalam beberapa butir sebagai hasil seminar lokakarya yang hangat diperdebatkan oleh para peserta pada diskusi pleno antara lain: Pertama, sepakat bahwa böwö adalah ungkapan nilai-nilai luhur dan pemberian penuh ikhlas hati, bukan dipaksa dan tanpa menuntut balasan. Kedua, menyadari nilai böwö selama ini telah membebani dan memberatkan kehidupan lahir batin keluarga baru. Ketiga, tindakan pelaksanaan böwö hendaknya dijiwai semangat sejati memberdayakan dan memanusiakan generasi muda Nias. Keempat, mengupayakan gerakan bersama menerapkan böwö perkawinan yang mensejahterakan keluarga baru. Kelima, merekomendasikan menyusun bahan pengajaran dan pembinaan bagi seluruh elemen masyarakat Nias untuk dijadikan bahan pengajaran muatan lokal di sekolah formal. Dan Keenam, menyederhanakan nilai material böwö dari adat perkawinan Nias yang dijiwai nilai-nilai luhur yang sejati.
Mengakhiri kegiatan lokakarya itu, Vikjend Keuskupan Sibolga Pastor Doni Ola Pr bersama Sekretaris Keuskupan Metodius Sarumaha OFMCap menutup acara lokakarya secara resmi. Dan pada kesempatan itu, beliau mengucapkan terima kasih kepada seluruh Panitia, Narasumber, dan peserta lokakarya. Semoga bermanfaat!
Peliput : Elinus Waruwu
Berita,
Budaya,
Pendidikan
|
0 comments: