Author: Elinus Waruwu
•Kamis, Februari 25, 2010
Perkataan koyakkanlah hatimu sangatlah cocok direnungkan pada perayaan hari Raya Rabu Abu (17/2). Orang biasanya kalau sudah naik darah atau panas terhadap lawan seterunya tanpa sadar emosinya meluap dan langsung mengoyakkan bajunya. Sesudahnya, siap bertempur melawan musuh, siap berkelahi, dan saking emosinya orang itu siap mati seketika. Itulah ilustrasi P.Aloysius Ampu Pr ketika memimpin Misa Rabu Abu di Stasi Santu Petrus Mela baru-baru ini. Singkatnya, keadaan siap tempur dengan koyak baju. Sekarang Tuhan tidak meminta koyak baju, tetapi lebih keras Dia berseru, “Koyakkanlah hatimu… karena dalam hatimu itu berasal segala sumber dosa…”
P.Alfons Ampu Pr menekankan bahwa hati sumber dosa. Bila akar dalam hati tidak dirawat dan dipelihara maka memunculkan berbagai kejahatan dan dipastikan pertobatan tidak akan pernah terjadi. Maka Tuhan menyapa umat-Nya pada masa pertobatan ini dengan ditandai abu. Perayaan Rabu Abu bukan mengotori tetapi tanda sadar sebagai orang berdosa. Maka hati sebagai sumber dosa perlu dimurnikan kembali. Masa pertobatan selama 40 hari kita laksanakan sebagai ret-ret agung dengan berbicara kepada Tuhan secara terus-menerus. “Jadi, sangatlah salah bila kita berbicara tentang diri orang lain, gosip, menjelek-jelekkan sesama, memuji –muji diri, sombong, dan lain sebagainya…” tegas P. Alfons mengawali permenungan.
Ada tiga hal yang perlu dipehatikan pada masa Prapaskah, pertama puasa. Puasa tidak diartikan tak boleh makan tetapi dibatasi hanya kenyang sekali. Jatah yang seharusnya dari pembatasan dari kenyang-kenyang itu disisihkan untuk aksi puasa. Kedua, amal kasih. Artinya selama Prapaskah karya amal dan berbuat baik perlu dilakukan. Dan perlu diingat perbuatan baik yang dilakukan tidak untuk diketahui orang agar memperoleh pujian atau simpatik, namun perbuatan baik itu kita lakukan menjadi berkat bagi orang lain sebagai ganjaran. Ketiga doa, selama Prapaskah kita diminta memberi waktu khusus untuk berdoa tanpa dibatasi tempat dan waktu. Kalau selama ini sibuk sekali, cari waktu khusus dan buat komitmen bersama.
Lebih jauh P.Alfons menjelaskan bahwa dalam masa Prapaskah yang kita masuki itu, kita sebagai umat yang mempunyai kebiasaan dan keinginan kuat harus mengeremnya. Misalnya kebiasaan minum tuak, merokok, makan yang enak-enak dan sebagainya perlu dikurangi. “Bila memungkinkan distopkan sama sekali..” jelas P.Alfons dengan mata agak besar dan sesudahnya senyum seperti memarahi umatnya tapi tetap sayang.
Apa yang dikatakan P.Alfons memang benar. Di daratan daerah Tapanuli selalu tersedia kedai tuak tempat kumpulnya kaum bapak-bapak yang sering nongkrong minum tuak dari siang sampai malam hari. Kebiasaan minum tuak itu sering tidak bisa dihindari. Kadangkala tuak dan rokok serta bumbu makanan tambahan dari minuman berupa daging tidak bisa dihindari karena sudah keenakan. Belum lagi, rokok sampai berbungkus-bungkus menjadi asap tak karuan memenuhi kedai sebagai sahabat minum tuak. Maka sedikit hati-hati kalau menyinggung soal tuak karena bisa saja diartikan menyindir dan kasar, karena diartikan melarang budaya minum tuak yang sudah tradisi di daerah itu.
Tradisi minum anggur di Barat, begitulah tuak di daerah Tapanuli. Maka tidak mengherankan isteri-isteri tak kuasa marah bila suaminya berada di kedai tuak. Herannya kita tidak habis pikir, dari mana hidupnya orang-orang yang selalu nongkrong di kedai tuak itu. Yah…sebagian Nelayan, malam hari cari ikan tetapi ketika bersama kembali ke darat sudah tampak nongkrong di kedai. Lalu, soal ke gereja perlu dikaji kenapa banyak yang tidak mau berdoa ke gereja? Ini salah satu penyakit masyarakat yang sulit diberantas. Dan hal itu sangat terasa ketika ada partangiangan (bhs Batak: Doa Lingkungan), dua sampai tiga orang kaum bapak yang bisa ikut, selainnya didominasi kaum ibu.
Bahkan ketika seorang Sintua yang tidak ingin disebut namanya dipertanyakan keadaan di lingkungan, Sintua yang memimpin partangiangan di daerah itu mengeluh, karena satupun kaum bapak tidak ada kecuali Sintua. Maka saat membuat renungan, Sintua itu hanya tersenyum dan memulai berkhotbah, “Sadari-saudari dan Ibu-ibu terkasih…” Umat di lingkungan itu tersenyum-senyum… Lalu dilanjutkan. “Saya tidak tahu mau menyapa dengan Bapak dan Ibu yah…karena tak satupun Bapak-bapak kita yang hadir di sini. Bagaimana cara menyapa kalian semua?” Maka terhentilah renungan sebentar dan tawa ria membahana menghiasi ruangan partangiangan… Mulailah saling menyalahkan. Beberapa ibu, menyindir suami temannya.. dan keributanpun tak bisa dihindari…
Menurut penuturan Sintua yang menjadi Pengurus di lingkungan itu, peristiwa masa lalu yang telah menjadi suatu kelucuan di daerah Tapanuli. Maka untuk mengatasi hal itu, agar tidak terjadi kelucuan, Sintua Lingkungan mengambil inisiatif dengan cepat-cepat memanggil beberapa kawan agar kaum bapak ikut partangiangan. Bila tidak berhasil, maka berjalanlah sendiri dan siap-siaplah hanya memimpin kaum ibu-ibu saja.
Maka kesimpulan dari permenungan Hati Sumber Dosa adalah benar. Sudah susah sekali memasuki hati umat karena hati sumber dosa tidak dirawat dan dipelihara, apalagi kaum bapak yang tambo-nya sudah bercampur di kedai tuak. Duduk di kedai tuak sudah semacam kebiasaan, bila tidak nongol di kedai tuak ada sindiran bukan golongan kaum bapak. Maka kita harapkan sapaan penyadaran, lewat masa Prapaskah sekarang memampukan kita sebagai umat bertobat dan dapat merefleksikan apa sasaran dan tujuan yang diharapkan dalam perjalanan sebagai umat beriman, yaitu bangkit bersama Kristus yang hidup jaya dan mulia. ***
This entry was posted on Kamis, Februari 25, 2010 and is filed under , , , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: